Jumat, 12 Desember 2014

Peringatan Hari Juang Kartika Kodam I/BB Tahun 2014: Palagan Pangkalan Brandan

Peringatan hari juang Kartika senantiasa merefleksikan perjuangan Tentara bahu membahu dengan rakyat melawan penjajah baik Jepang maupun Belanda.Begitu juga peringatan Hari Juang Kartika di Kodam I Bukit Barisan tahun ini, dengan mengambil tema pertempuran di Panglalan Brandan. Peristiwa heroik ini patut kita ketahui dan ambil nilai-nilai luhurnya, untuk dapat kita wariskan kepada anak cucu kita, sehingga dengan banyaknya publikasi tidak ada istilah sejarah yang nyaris tak terdengar. Dari berbagai sumber internet maupun blog beginilah kira-kira kisahnya:

Kota Brandan tahun 1945
Menyadari bahwa minyak bumi adalah merupakan bahan baku sumber energi yang sangat penting bagi penggerak roda perekonomian dan roda-roda mesin perang, maka setelah meletus PD (Perang Dunia) II dan Pearl Harbour diluluhlantakkan oleh ratusan pesawat tempur kamikaze jenis Zero milik Kerajaan Dai Nippon, dalam sandi operasi “Tora Tora Tora” selama tiga jam pada tanggal 7 Desember 1941, Indonesia yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda mendapat giliran diserang oleh Jepang, sebagai jembatan untuk penyerbuan selanjutnya ke Australia, dan pada tanggal 8 Desember 1941, Amerika dan sekutunya menyatakan perang terhadap Jepang.

Sedangkan di Indonesia, ketika masih dikenal dengan nama Nederlands Indies, Pemerintah Hindia Belanda yang merasa sudah tidak mampu lagi untuk menahan serbuan tentara Jepang yang sedemikian cepatnya ke Indonesia, apalagi setelah mengetahui bahwa armada laut Belanda dapat dilumpuhkan oleh Jepang dalam pertempuran laut yang dahsyat di perairan Laut Jawa, maka Belanda melakukan taktik bumihangus terhadap semua sarana dan fasilitas industri perminyakan di Pangkalan Berandan dan sekitarnya.

Dari himpunan data intelijen, Belanda mengetahui bahwa Bala Tentara Jepang yang telah mengobarkan Perang Dunia II berkeinginan untuk menguasai Asia Raya, dan Belanda yang bercokol di Indonesia menyadari bahwa kekuatan angkatan bersenjatanya terbilang “minim” bila dibandingkan Jepang. Jangankan Belanda, Amerika saja nyaris lumpuh dihajar Jepang. Jadi tidak ada kata lain bagi Belanda, dari pada seluruh instalasi dan fasilitas produksi minyak dikuasai secara utuh oleh Jepang, maka aksi bumihangus terhadap seluruh instalasi kilang BBM dan fasilitas produksi di Tarakan dilakukan oleh Belanda pada tanggal 13 Januari 1942, di Balikpapan tanggal 28 Januari 1942. Di Plaju, tanggal 15 Februari 1942 tapi Belanda hanya berhasil membakar lokasi, pembangkit listrik dan cadangan air karena tentara Jepang sudah menduduki Kota Plaju.

Pembumihangusan dan perusakan fasilitas produksi di Aceh Tamiang (Rantau) dan Langkat (Pangkalan Brandan dan Pangkalansusu) dilakukan Belanda selama tiga hari (9-11 Februari 1942). Pada tanggal 12 Maret 1942 Jepang masuk ke Kuala Simpang melalui pantai Kuala Beukah, dan Pangkalan Brandan pada tanggal 13 Maret 1942.

Penyerbuan balatentara Dai Nippon yang sangat cepat itu akhirnya berhasil menguasai industri perminyakan di Pangkalan Berandan dan sekitarnya termasuk yang terdapat di Aceh Timur, dan pengoperasiannya diserahkan dibawah pengawasan komandan militer setempat.

Untuk mengatasi kebutuhan BBM yang sangat mendesak demi kelancaran operasi militer Kerajaan Jepang yang ambisius menjadi penguasa tertinggi di Asia Timur Raya, maka segera dilakukan perbaikan lapangan dan kilang minyak dengan mempergunakan tenaga kerja Romusha dan para pekerja bekas BPM/Shell.

Berkat kerja keras para pekerja bangsa Indonesia dibawah pimpinan tenaga ahli berkebangsaan Jepang yang khusus dibawa dari negeri Sakura, dalam waktu yang relatif singkat Jepang telah berhasil memperbaiki kembali tambang minyak berikut kilang BBM peninggalan BPM di Pangkalan Berandan.

Untuk kepentingan militer dan industri di negerinya, Jepang telah pula berhasil meningkatkan produksi dan kapasitas kilang secara paksa. Contohnya, kilang BBM di Pangkalan Berandan yang berkapasitas produksi sebesar 300 ton/hari telah dipaksa produksinya menjadi 10.000 ton/hari.

Bukan hanya itu saja, pada tahun 1943 Jepang juga telah mendirikan kilang BBM yang berlokasi tersembunyi di kebun karet Paya Buyok agar tidak diketahui oleh pihak Sekutu yang sedang berseteru dengan Jepang. Kilang ini dipimpin oleh tiga orang pegawai berkebangsaan Jepang, yang dikepalai oleh seorang militer berpangkat Letda. dari Angkatan Darat Jepang dibantu tiga orang lulusan Nampo Sekyu Gakko (Sekolah Tambang Minyak), Pangkalan Berandan.

Peristiwa keberhasilan Jepang membangun kembali kilang BBM berikut fasilitas pendukungnya, baik yang terdapat di Pangkalan Berandan maupun di Aceh, telah menjadi perhatian serius dan incaran penyerbuan Sekutu untuk membombardir industri perminyakan di Pangkalan Berandan dengan maksud agar kekuatan Jepang di Asia Raya dapat dilumpuhkan.

Walaupun mendapat perlawanan yang sengit dari tentara Jepang, akan tetapi Amerika yang telah mendapat pukulan telak di Pearl Harbour mengajak sekutunya terus berupaya menghancurkan pertahanan lawan dengan dukungan ratusan pesawat pembom. Peristiwa 4 januari 1945 ini tidak berhasil menaklukkan tentara Kerajaan Dai Nippon yang dikenal sebagai pasukan berani mati. Namun ketika Amerika menusuk langsung ke “jantung Jepang“ dengan bom atom “Little Boy“ di Hiroshima tanggal 15 Agustus 1945 dan “Fat Man“ untuk Nagasaki (9 Agustus 1945) yang dibawa pesawat pembom B-29 “Enola Gray” milik Amerika Serikat. Akhirnya Jepang bertekuk-lutut setelah Kaisar Mikado Hirohito menyatakan menyerah kalah tanpa syarat.

Pertempuran rakyat
Setelah balatentara Kerajaan Dai Nippon berhasil dilumpuhkan oleh Sekutu, orang Belanda yang telah memperoleh angin segar atas kemenangan Sekutu dalam pertempuran Asia-Pasifik, berusaha keras untuk menguasai kembali perusahaan tambang minyak di Pangkalan Berandan dan Aceh Timur, tapi sayang niat Belanda tidak kesampaian karena secara defenitif Pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) telah berkuasa di kawasan yang berada di luar daerah pendudukan tentara Sekutu.

Menyadari bahwa pihak Tentara Jepang tetap ngotot tidak mau menyerahkan tambang minyak Sayutai kepada Laskar Minyak (eks. Pegawai BPM/Sayutai) yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Komite Nasional Indonesia Teluk Haru dari Barisan Pemuda Indonesia, maka pada tanggal 8 Oktober 1945 beberapa pemuda BPI secara mengendap-endap di kegelapan malam berhasil menerobos masuk ke kompleks tambang minyak Pangkalan Berandan.

Adalah Bedul yang memanjat menara Pretoping setinggi 50 meter untuk mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Pretoping sebagai tanda bahwa tambang minyak Pangkalan Berandan telah dikuasai oleh Laskar Minyak Pangkalan Berandan.

Sejak itu para pegawai Sayutai berkebangsaan Indonesia tidak bersedia lagi menjalankan perintah-perintah atasannya yang berkebangsaan Jepang dan tetap menduduki tambang minyak tersebut dengan aksi mogok kerja. Dengan demikian sejak pertengahan Oktober 1945 secara praktis kegiatan produksi tambang minyak Sayutai terhenti total.

Tambang minyak Pangkalan Berandan yang telah dikuasai oleh para Laskar Minyak, diganti namanya dari Sayutai menjadi Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI). Penggantian nama ini dilakukan secara sepihak, sedangkan Tentara Jepang dan pegawai Sayutai yang berkebangsaan Jepang tidak dapat berbuat banyak karena memang posisi mereka sangat terjepit akibat kalah perang ditambah lagi dengan adanya penekanan dari pihak Laskar Minyak yang telah menduduki Sayutai dan penekanan dari Sekutu.

Sementara Pemerintah NRI sendiri belum berhasil menguasai sepenuhnya perusahaan tambang minyak Sayutai eks BPM/Shell karena pihak Sekutu atas permintaan Kerajaan Belanda, menekan tentara Jepang yang masih berada di kompleks kilang minyak Pangkalan Berandan agar tetap mempertahankan status quo perusahaan tersebut.

Karena adanya perjuangan yang gigih dari para insan perminyakan dan dukungan dari pejuang Kemerdekaan RI, akhirnya pihak Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggeris, Mayor Fergusson atas nama Komando Tertinggi Tentara Sekutu di Sumatera, menyerahkan tambang minyak di Pangkalan Berandan dan Aceh Timur kepada Pemerintah NRI yang diterima oleh Residen Sumatera, Abdul Karim M.S. mewakili Gubernur Sumatera Utara, Mr. Teuku Mohammad Hasan dengan disaksikan oleh dua orang petugas dari Badan Komisi Dewan Keamanan, Residen Sumatera Timur, Mr. Luat Siregar, Bupati Langkat, Adnan Nur Lubis, Wedana Teluk Haru, Basir Nasution, Ketua Komite Nasional Indonesia Wilayah Teluk Haru merangkap anggota Dewan Sumatera, Amin Sutarjo, Sekretaris KNI Teluk Haru, Amiruddin Basir dan Komandan Keamanan Wilayah Teluk Haru, Letda. M. Hayar.

Seusai acara serah-terima itu, pada tanggal 20 Juni 1946 Gubernur Sumatera memberi mandat kepada Amin Sutarjo untuk mengatur dan menertibkan susunan organisasi serta mengangkat pengurus baru di perusahaan minyak eks Sayutai/BPM yang telah dirobah dan ditetapkan namanya menjadi Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan singkatan PTMRI, yang merupakan cikal bakal PT PERTAMINA (PERSERO) seperti yang dikenal saat ini.

Tanggal 21 Juli 1947 diterima informasi dari pihak intelijen pejuang kemerdekaan RI, bahwa tentara Kerajaan Belanda telah melancarkan agresi militer terhadap kedaulatan Negara Republik Indonesia termasuk niatnya untuk merebut kembali perusahaan pertambangan minyak di Pangkalan Berandan dan sekitarnya.

Sebelum menyerbu ke Pangkalan Berandan, pihak Kerajaan Orange dengan dukungan Brigade “Z“ telah mengerahkan Batalyon IV/VI KNIL dan Batalyon 4-2 RI.KL untuk melakukan ofensif ke kawasan sektor Barat dan Utara Medan Area, yang dikabarkan telah berhasil melumpuhkan kota Medan pada tanggal 29 Juli 1947.

Setelah mematahkan perlawanan para pejuang Kemerdekaan R.I. di kota Medan, Sunggal, Binjai, Stabat dan Tanjung Pura, Belanda yang telah mengingkari Perjanjian Linggarjati (8 Maret 1947), terus bergerak maju ke arah Barat dengan tujuan Pangkalan Berandan.

Pasukan yang dipimpin oleh Letkol. H. Kroes yang khusus ditugaskan untuk menduduki Langkat, telah mendapat perlawanan sengit dari para pejuang kita yang tergabung dalam Batalyon Istimewa Divisi X TRI pimpinan Kapten Agus Husin. Pasukan musuh yang telah memasuki Securai berhasil dipukul mundur sampai ke batas demarkasi Gebang. Untuk memperingati peristiwa tersebut, di Gebang telah didirikan Tugu Demarkasi.

Beberapa hari setelah dipukul mundur oleh para pejuang kita, diperoleh informasi bahwa pasukan Belanda akan melakukan serangan secara besar-besaran untuk merebut instalasi industri perminyakan di Pangkalan Berandan. Hal ini dapat diketahui dari mata-mata Belanda yang berhasil di tangkap, yaitu Tengku Karma bin Tengku Sulaiman, kontelir Belanda di Tanjung Pura.

Melihat situasi yang sudah tidak menguntungkan lagi bagi keamanan dan keselamatan instalasi dan fasilitas industri perminyakan di Pangkalan Berandan, maka perintah Panglima Komando Divisi X TRI, Kolonel Husin Yusuf kepada Komandan KSBO (Komando Sektor Barat dan Oetara) Medan Area, Letkol Hasballah Hadji untuk membumihanguskan seluruh instalasi industri perminyakan berikut objek-objek vital lainnya baik yang terdapat di Pangkalan Berandan maupun di Pangkalan Susu harus segera dilaksanakan.

Surat Perintah yang sudah dipersiapkan oleh perwira operasi KSBO, Kapten Sudirman, Segera ditanda-tangani oleh Komandan KSBO pada tanggal 12 Agustus 1947. Surat tersebut diberikan kepada para komandan pioner pembumihangusan Pangkalan Berandan, yaitu Lettu. Usman Amir (mantan Ka. Djawatan Persendjataan Divisi Gajah I), Tengku Nurdin (mantan Danyon V RIMA/ Pesindo Divisi Rencong), Umar Husin (mantan perwira Pesindo Divisi Rencong) dan M. Yusuf Sukony (mantan perwira Divisi Rencong). Sedangkan tembusannya disampaikan kepada pemimpin PMC (Plaatselijk Militair Commando) Pangkalan Berandan, Mayor Nasaruddin yang bertanggungjawab penuh atas keamanan umum dan keselamatan penduduk kota itu.

Tepat pada pukul 03.00 dini hari tanggal 13 Agustus 1947, peristiwa pembumihangusan seluruh instalasi dan fasilitas industri perminyakan di Pangkalan Berandan dan sekitarnya telah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sedangkan pembumihangusan kota Pangkalan Berandan berlangsung pada pukul 04.00.

Akibat dari aksi tersebut, secara praktis kota Pangkalan Berandan berikut kompleks industri perminyakan telah berubah wujud jadi lautan api dan gerak roda perekonomian jadi macet total. Itulah konsekuensi yang harus diterima oleh bangsa Indonesia.

Menurut catatan sejarah, bumi hangus di Pangkalan Berandan telah dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama pada tanggal 9 Maret 1942 dilakukan oleh Vernielinkcorps (tentara Belanda) sebelum penyerbuan tentara Jepang, tetapi karena dilakukan secara tergesa-gesa, kerusakannya tidak separah bumi hangus yang kedua.

Bumi hangus kedua dilakukan pada tanggal 13 Agustus 1947 oleh pasukan PMC yang mengakibatkan seluruh instalasi dan fasilitas industri perminyakan di Pangkalan Berandan termasuk ruko dan rumah penduduk jadi porak-poranda.

Bumi hangus ketiga dilakukan oleh bangsa kita pada tanggal 19 Desember 1948 ketika Belanda yang masih penasaran, melakukan agresi militer kedua di bumi Indonesia. Akibatnya, seluruh pertambangan minyak di Pangkalan Berandan jadi puing-puing yang berserakan dan ditinggalkan begitu saja untuk beberapa waktu lamanya.

Sedangkan tambang minyak di Rantau dan Langsa, Aceh Timur dapat diselamatkan dari taktik bumihangus karena pertahanannya diperkuat oleh pasukan Bateri II Arteleri dibawah pimpinan Kapten Nukun Sanany dibantu oleh TPR II Aceh Divisi Sumatera pimpinan Lettu. TN. Basyir Abdullah dan Letda. Syarif Agus.

Aksi bumihangus lainnya yang tidak kalah hebatnya juga terjadi di kompleks PTMN (Perusahaan Tambang Minyak Nasional) Kawenangan/Wonosari Cepu. Pasukan yang berjumlah 12 orang terlatih di bawah pimpinan Nandika selaku Kepala Tim Pelaksanaan Pembumihangusan Kilang Cepu, Perkantoran dan Kompleks perumahan karyawan pada tanggal 19 Desember 1948 sekitar pukul 17.00 WIB segera membakar dan meledakkan Kilang Minyak Cepu beserta seluruh fasilitas produksi seperti sumur minyak, tangki penimbun minyak yang berada di kawasan instalasi perindustrian minyak di Cepu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar